Crossfire — #6

watersigns
10 min readJun 10, 2023

(tw // mentions of suicide, workplace bullying, violence, blood)

Sambil mengusap peluh, Amagai melirik smartwatch yang melingkar di jam tangannya. Sudah satu jam berlalu sejak ia keluar rumah untuk berlari pagi di area sekitar tempat tinggalnya.

Kesibukan di kantor beberapa minggu belakangan menyita waktu. Proses negosiasi dan persiapan jelang kerjasama antara Amagai Group dan Shikichi Corporations menjadi pengisi utama keseharian Amagai di kantor.

Lari pagi seperti ini adalah kesempatan Amagai untuk menarik napas dari kesibukannya, serta menutup telinga sejenak dari jadwal rapat, pertemuan dengan relasi, atau presentasi karyawan.

Hanya sebuah kebiasaan sederhana yang ia lakukan sejak kuliah dulu, yang setidaknya membuat hatinya lebih ringan. Ia bahkan tidak membawa ponselnya.

Bahkan orang seperti dirinya berhak untuk menyendiri dulu, bukan?

Toh Amagai tahu ia tidak mungkin berlama-lama lari. Matahari pagi sudah mulai meninggi, dan sebentar lagi ia sudah harus bersiap menuju kantor.

“Saya mau sarapan dulu,” kata Amagai ke salah satu pekerja di rumahnya yang membuka pintu, bahkan sebelum perempuan itu buka mulut. “Dan tolong bawakan koran ke meja makan ya.”

Ia baru meneguk air mineral saat beberapa eksemplar koran yang ia minta diletakkan di meja makan. Tanpa berkata apa-apa, Amagai mengambil koran paling atas, dan baru akan membaca tajuknya saat perhatiannya teralih.

Sebuah amplop coklat di atas tumpukan koran yang tersisa di meja, dengan nama lengkapnya diketik di label sebagai penerima. “Ini dari mana?” tanya Amagai.

“Maaf, Amagai-san, saya kurang teliti memperhatikan, tetapi…”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Biar saya yang buang. Paling cuma kerjaan orang iseng,” Amagai memotong, sebelum cepat-cepat menyelesaikan sarapannya dan membuka amplop tersebut.

Amagai bukan sekali-dua kali mendapat surat aneh yang ternyata tidak lebih dari pekerjaan orang iseng. Ia tahu semestinya surat semacam ini tidak semestinya menyita atensi, tetapi kadang keingintahuannya terlalu besar.

Setelah memastikan ia benar-benar sendirian di ruang makan, Amagai membuka amplop itu. Isinya cuma selembar kertas yang berisi kalimat-kalimat yang diketik.

Hentikan semua rencana kamu sebelum terlambat. Kamu pernah salah memilih. Jangan diulangi.

Amagai mengernyit. Tidak paham maksud surat ini, apalagi untuk menebak-nebak siapa pengirimnya.

Kamu pernah salah memilih.

Mata Amagai terpaku di kalimat itu seolah sedang melihat hantu dari masa lalu. Ia hanya tidak yakin bagian masa lalunya yang mana yang tengah mendatanginya,

***

Suzaki membuang kopi kalengannya yang terlalu manis ke tempat sampah sebelum mendatangi ruang tamu kantor polisi. Seorang perempuan berkucir ekor kuda langsung berdiri saat menyadari kehadirannya.

“Detektif Suzaki,” ia mengulurkan tangan, menyebutkan nama. “Saya…”

“Yang mencari saya,” Suzaki meneruskan kalimatnya. Perempuan itu mengangguk, menatap Suzaki antara ragu dan ingin tahu. “Semoga saya tidak mengganggu,”

“Tidak. Tadi katanya Anda adalah teman korban kasus yang sedang saya tangani,”

“Betul,”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya hanya ingin tahu kelanjutan kasusnya,”

“Saya — kami masih mendalami soal penyebab kematian teman Anda dan ayahnya,” jawab Suzaki. Sambil mengetahui kenapa dia yang merusak selang gas di rumahnya. “Tapi saya akan kabari kalau ada progres berarti,”

“Begitu…”

“Ya. Maaf kalau saya belum bisa memberikan kabar yang signifikan. Tapi Anda bisa percaya omongan saya…”

“Saya yakin dia dibunuh,”

“Maaf?” Suzaki mengernyitkan kening. “Maksud Anda apa?”

***

Suzaki mengantongi ponsel setelah membalas pesan atasannya yang mengingatkannya untuk tidak berlama-lama di luar kantor.

Masih banyak pekerjaan, alasan bosnya begitu, seolah lupa bahwa alasan Suzaki pergi juga sebagai bagian dari tugasnya.

Tatapan Suzaki mengarah ke ruang tunggu kantor Shikichi Corporations tempat ia berada sekarang.

Dari kasus pembakaran toko, lalu kematian pemiliknya, hingga penyerangan Sameoka, semua bermuara ke kantor yang letaknya sedikit di pinggir pusat kota ini.

Suzaki tahu ia harus mencari petunjuk ke gedung ini soal kasus yang ia kejar sebelum terlambat dan semua petunjuk menjadi kian kabur.

Yang terjadi di kantor polisi beberapa jam sebelumnya juga seolah menjadi pendukung.

“Saya baca berita yang beredar, Detektif Suzaki. Pihak kepolisian bilang bahwa tidak menutup kemungkinan dia bunuh diri.”

Suzaki tidak berkomentar. Nyatanya, memang probabilitas korban mengakhiri hidupnya sendiri masih sangat terbuka jika mengacu kepada hasil uji forensik.

“Tapi dia bukan orang seperti itu,”

“Maaf,” kata Suzaki. “Saya memang tidak mengenal korban sebaik Anda mengenal dia. Tapi apa yang membuat Anda yakin dia tidak akan melakukannya?”

“Teman saya orang yang baik. Keras kepala dan sulit dibelokkan maunya, tetapi dia baik dan sangat menyayangi ayahnya,” suara perempuan itu bergetar.

Suzaki masih membisu, menebak ke mana arah pembicaraan ini. “Terakhir saya bertemu dia, dua minggu sebelum dia keluar dari pekerjaan, dia cerita sedang mengalami kesulitan di kantor,”

“Di Shikichi Corporations?”

Perempuan itu mengangguk. “Dia tidak bilang detailnya apa, tapi dia bilang bahwa dia ditekan oleh pihak atasan untuk mengundurkan diri,”

“Apa dia cerita alasan kenapa bosnya melakukan itu?”

Kali ini lawan bicara Suzaki menggelengkan kepalanya. Pikiran Suzaki masih berlomba, berusaha mencari pangkal semua permasalahan, saat perempuan itu kembali buka mulut.

“Tapi ada satu hal yang saya nggak bisa lupakan, Detektif Suzaki,”

“Apa itu?”

“Dia bilang, kalaupun dia keluar dari Shikichi Corporations, dia akan membawa serta rahasia perusahaan tersebut walaupun harus menghilang ke ujung dunia,”

“Apa dia pernah menjelaskan maksud omongannya?”

Perempuan itu menggeleng. Suzaki berdehem sejenak. “Oke, kalau boleh saya kembali ke omongan Anda sebelumnya. Anda bilang, teman Anda cerita bahwa dia tengah ditekan di kantornya? Apa dia pernah cerita siapa yang melakukannya?”

Seorang pria keluar dari pintu kepala divisi keuangan dan langsung berjalan menuju Suzaki, mendistraksinya dari lamunan.

“Anda Detektif Suzaki?” tanya pria berusia 45 tahunan dengan perawakan tinggi kurus berkacamata itu. Ia bahkan tidak menjabat tangan Suzaki.

“Betul. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, secara privat, tentu saja,”

“Soal apa?”

“Soal mantan karyawan Anda,” pria itu langsung terdiam saat Suzaki menyebutkan nama orang yang dimaksud, meski Suzaki bisa melihatnya cepat-cepat menguasai diri.

“Baik, Detektif Suzaki. Silakan masuk,” Suzaki mengikuti langkahnya kembali ke ruangan.

“Anda butuh minum?”

“Terima kasih, tapi kalau semuanya berjalan lancar seharusnya saya nggak perlu lama-lama di sini,” jawab Suzaki datar.

Pria itu tersenyum tak kalah datar dari omongan Suzaki. “Ya, baiklah. Jadi, apa yang membawa Anda ke sini, Detektif Suzaki?”

“Dari informasi yang kami kumpulkan, korban bekerja di kantor ini selama lima tahun sebagai salah satu staf bagian keuangan,”

“Betul. Salah satu karyawan kami yang cukup rajin. Hasil kerja dan pribadinya tidak terlalu menonjol, tetapi pekerjaannya selalu memenuhi standar KPI,”

“Lantas apa yang membuat dia keluar dari perusahaan?”

“Dia bilang ingin menjaga dan membantu usaha ayahnya,”

“Oh, begitu,” Suzaki berhenti mencatat. “Boleh dijelaskan seperti apa proses pengunduran diri almarhum di perusahaan ini?”

“Sesuai standar di perusahaan. Karyawan mengajukan surat pengunduran diri minimal satu bulan sebelumnya, lalu dia menjalankan sisa pekerjaan sambil melakukan proses handover jika ada, lalu berpamitan pada hari terakhir,”

“Lantas bagaimana dengan rumor bahwa dia dirundung?”

Suzaki bisa melihat pembawaan si kepala divisi keuangan yang tadinya tenang cenderung stoic berubah; air mukanya yang tadinya minim ekspresi sedikit berkedut.

“Dari mana Anda mendengar rumor itu?”

“Jawab saja dulu pertanyaan saya.” Pria itu memaksakan diri tersenyum.

“Detektif Suzaki, kantor kami memiliki kebijakan tidak menoleransi perundungan ataupun pelecehan. Siapapun karyawan yang merasa menjadi korban berhak mengajukan keluhan yang akan diproses secara internal,”

“Termasuk jika karyawan yang bersangkutan punya masalah dengan pihak kantor sekalipun?”

“Maaf?”

“Beberapa saat sebelum dia diberhentikan, korban ditengarai punya masalah dengan pihak kantor. Anda sebagai mantan atasannya bisa memberikan keterangan soal itu?”

“Ah, itu…” pria itu tercenung.

“Saya tidak tahu dari mana Anda mendengarkan rumor itu, Detektif Suzaki, tetapi saya bisa pastikan Anda tidak mendengarkan versi yang seutuhnya,”

“Kalau begitu bisakah Anda jelaskan versi seutuhnya menurut Anda — maksud saya versi dari Shikichi Corporations seperti apa?”

“Dia karyawan yang cakap dalam bekerja, seperti yang saya bilang sebelumnya. Tapi dia juga bermasalah. Sangat bermasalah,”

“Seperti apa, misalnya?”

“Selama beberapa bulan terakhir sebelum dia berhenti dia beberapa kali berselisih dengan atasan dan rekan kerja, sampai beberapa kali pihak HRD harus turun tangan,”

“Apa alasan di balik perselisihan itu?”

“Itu… yah… saya rasa sebenarnya pertengkaran semacam itu biasa, atau bahkan normal, di setiap perusahaan. Semula hanya dari perbedaan cara kerja dan perbedaan pendapat,” ia bercerita.

“Hanya saja entah mengapa hal yang tadinya sepele seolah terus-menerus merembet ke segala arah. Harus diakui, kondisi divisi kami sempat tidak kondusif,”

“Apa yang Anda lakukan sebagai kepala divisi saat itu?”

“Yang pertama tentu merotasi tim, agar pihak-pihak yang berselisih tidak bekerja bersama. Lalu saya juga mengajak dia bicara dan mencari penyebabnya,”

“Dari hasil obrolan itu, apa yang Anda dapatkan?”

“Kesimpulan saya sebenarnya saat itu adalah dia sudah tidak cocok bekerja di sini. Bukan karena dia tidak lagi kompeten, tetapi saya rasa hal yang wajar saat seseorang mulai jenuh atau kehilangan minat setelah bertahun-tahun bekerja di kantor yang sama.”

“Tetapi dia tidak langsung mengundurkan diri?”

Pria itu menggeleng. “Kejadiannya bukan terus-menerus terjadi. Ada kalanya dia bersikap biasa saja kepada kami semua, tetapi ada kalanya juga diskusi yang intens bisa berujung ke pertengkaran. Jujur saja, selain kesal, saya juga punya pikiran buruk…”

Ia urung melanjutkan kata-katanya.

“Pikiran buruk?” Suzaki menekankan. Pria itu tersenyum canggung. “Saya punya pikiran buruk kalau dia mungkin sedikit terganggu dan butuh pertolongan,”

“Apa Anda pernah menyarankan demikian sebagai atasannya?”

“Pernah, walau secara tidak langsung. Hanya saja saya tidak tahu apakah dia sadar atau tidak. Yang jelas ketika dia keluar, kami semua sepakat bahwa ini jalan yang terbaik untuk dia dan perusahaan.”

“Begitu,” Suzaki kembali bergumam.

“Ya. Saya harap saya bisa membantu. Saya tidak mau bicara yang buruk-buruk tentang mantan karyawan yang sudah meninggal, tapi…” pria itu berdehem. “Saya harap apapun yang dia lalui semasa hidup sekarang sudah tidak akan mengganggunya lagi.”

Suzaki tidak menjawab.

“Maaf, Detektif Suzaki, tetapi saya harus kembali bekerja, kalau Anda tidak keberatan,” nada suara lelaki itu menegaskan bahwa kehadiran Suzaki sudah tidak lagi diinginkan.

‘Baiklah. Saya juga pamit kalau begitu. Terima kasih banyak,” Suzaki bangkit dari tempatnya dan menyambut uluran tangan lelaki itu.

“Sama-sama. Semoga Anda mendapatkan apa yang Anda cari.”

Suzaki memaksakan diri tersenyum.

“Anda cukup membantu. Terima kasih sekali lagi.”

***

Beberapa jam kemudian

Klub malam itu ramai pengunjung seperti biasa. Di kala weekday seperti ini, para karyawan (mayoritas laki-laki) datang setelah jam kantor masih dalam pakaian kerja mereka.

Tujuannya apa lagi kalau bukan melepas lelah ke dalam gelas-gelas minuman keras sembari didampingi para hostess yang sedang bertugas?

Salah satunya adalah si kepala divisi keuangan Shikichi Corporations.Dia sudah meneguk gelas wine keduanya meski malam bahkan belum terlalu larut.

Masalahnya, dia terlalu larut dalam euforia malam ini bersama hostess berambut brunette yang mendampinginya.

Saking larutnya dia sampai lupa akan fakta-fakta penting; bahwa di rumah ada putrinya yang berusia lima tahun dan istri yang sedang hamil 4 bulan menunggu di rumah, serta bahwa dia sebenarnya punya toleransi alkohol yang cukup rendah.

Belum apa-apa dia sudah cegukan serta bicara lebih banyak dari biasanya.

“Kau tahu, Hikari-chan… eh… Akari-chan…”

“Ayaka,” si hostess berambut brunette mengoreksi; tamunya tak sadar ia sedang memaksakan diri tertawa, meski kalau boleh memilih ia ingin melayani tamu lain yang lebih sober.

“Ya, itulah. Maaf,” si kepala divisi bergumam. “Tadi ada detektif datang ke kantorku, bertanya soal orang yang sudah mati,”

“Astaga, betulkah? Kenapa dia bisa menanyakan hal seseram itu ke Anda?”

“Jelas saja. Yang dia tanyakan itu mantan karyawanku,” pria itu terkekeh. “Dia mati beberapa hari lalu. Entah bunuh diri atau kecelakaan.”

Ayaka (bukan nama sebenarnya) tersenyum canggung; mulai tak nyaman dengan topik yang dibawa kliennya. “Anda mau minum air putih? Atau kupesankan yang lain?”

“Tidak, tidak. Detektif itu mengira aku yang merundung mantan karyawanku. Padahal aku hanya melakukan pekerjaanku,”

“Aku yakin begitu,”

“Ya kan?” pria itu tertawa meski pandangannya kian berkunang-kunang, sampai tidak sadar seseorang meminta maaf karena menyenggolnya saat melewati mejanya dan Ayaka.

“Maksudku, buat apa membela idealisme sampai mengkhianati perusahaan? Apa kau akan melakukan hal itu, Ayaka-chan?”

“Tentu saja tidak,” Ayaka menjawab otomatis, tahu persis itu jawaban yang diharapkan darinya.

“Lagipula gadis itu aneh. Seperti baru bekerja saja. Dia pikir dia siapa? Pretty Soldier?” kata si pria terkekeh di garis batas sadar dan tidak.

“Ya, aku paham maksud Anda. Ngomong-ngomong Pretty Soldier, aku baru ingat kalau…”

“Yang jelas,” pria itu kembali memotong omongan Ayaka. “Aku hanya mengatakan kalau dia buka mulut, reputasinya akan hancur. Kantorku bisa membuat dia kehilangan pekerjaan dan tak punya kesempatan bekerja lagi, hingga dia dan ayahnya menderita.”

“Dia tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Sementara aku… aku punya perusahaan yang mendukungku. Karena yang kulakukan juga demi kepentingan perusahaan.”

Ayaka tak menjawab. Orang semacam kliennya malam ini biasanya memang tidak butuh ditanggapi. Mereka hanya butuh tempat mendengar cerita mereka — baik yang jujur maupun bualan — didengarkan, dan ada yang memuji apapun yang mereka pamerkan.

“Satu orang…” pria itu meletakkan tangan kanan di meja. “…melawan satu perusahaan besar,” ia mengangkat tangan kirinya, seolah mengontraskan dengan posisi tangan kanannya yang di meja. “Mustahil. Tidak mungkin terjadi.”

“Betulkah?”

“Lihat saja yang terjadi. Dia kalah. Kami semua menang. Tapi ya mana kutahu kalau dia akan bunuh diri begitu. Tidak sekuat itu dia ternyata.”

Kepala divisi keuangan Shikichi Corporations itu mengangkat gelasnya dan menyesap satu tegukan lagi. Pening di kepalanya terabaikan.

“Orang lemah…” gumamnya. “…tidak punya hak untuk melawan.”

Ia menghabiskan satu jam lagi di tempat itu sebelum memutuskan waktunya pulang. Sudah kian malam, istrinya pasti cemas dan curiga jika ia tak kunjung menampakkan diri di rumah.

Otaknya sudah terlalu dipenuhi alkohol hingga tak sempat memikirkan alibi apa yang harus ia sediakan kepada perempuan yang sudah sedekade ia nikahi tersebut.

Bagaimana mau berpikir kalau untuk berjalan ke stasiun saja ia harus mengandalkan memorinya?

Ia masih bersenandung sebuah lagu yang bahkan tidak ia ingat penyanyinya, saat merasakan badannya ditarik entah dari mana.

Si kepala divisi keuangan bahkan belum sadar kalau dirinya dibawa ke gang sempit ketika tinju mengenai wajahnya.

***

Suzaki tidak membuang waktu untuk melayangkan tinju keduanya, kali ini ke ulu hati si pria, sampai dia tersungkur.

Sekilas Suzaki bisa melihat pria itu meludahkan darah ke tanah sebelum mencoba bangkit. “Sia — -”

Lagi-lagi Suzaki tidak memberikan kesempatan si pria bertanya, karena Suzaki memberikan tendangannya.

Ini bukan perkelahian yang seimbang. Suzaki tidak peduli.

Yang dia dengarkan di klub malam tadi sudah cukup membuatnya kehilangan belas kasihan.

Orang-orang seperti ini adalah jenis yang tidak bisa ia jerat dengan hukum, karena tidak ada yang datang mengadu.

Orang semacam ini setara dengan kriminal tetapi bisa berkeliaran dengan bebas, entah karena terlalu berkuasa atau karena orang-orang di sekitarnya terlalu memaklumi.

Suzaki familiar dengan tipe manusia semacam ini. Manusia yang saking berkuasanya merasa tidak tersentuh siapapun dan apapun, hingga mengira bisa melakukan yang mereka mau tanpa konsekuensi.

Suzaki Ryo pun punya jalan lain untuk menampar mereka dengan realita bahwa sejatinya kekuatan yang mereka punya tak ubahnya pasir di genggaman tangan; bisa lepas kapan saja dari sela-sela jemari.

Sebab terkadang, peraturan tertulis tidak cukup, karena akan selalu ada yang menolak membaca karena merasa dirinya sudah pintar.

Beberapa menit berlalu setelah perkelahian yang sama sekali beda level itu. Suzaki dengan hoodie dan masker serba hitam melawan seorang perundung mabuk yang bahkan tidak betul-betul sober.

Suzaki memastikan lawannya sudah tidak punya kesempatan melawan sebelum menyeretnya dan mengikat dengan tali dari tas yang ia taruh di dekat tiang lampu.

“Apa — -” erangan si pria dijawab Suzaki dengan tamparan dan sumpalan selotip di mulut.

Setelah si pria terikat kencang, Suzaki dengan kasar merogoh kantong jas pria itu dan mengeluarkan recorder yang ia letakkan saat dengan sengaja menabraknya di bar tadi.

Suzaki bisa melihat lelaki itu melempar pandang ketakutan, sebelum Suzaki merobek kemejanya dan mengeluarkan pisau lipat.

***

Keesokan paginya, televisi, media cetak, dan daring sama-sama memberitakan penemuan seorang pria berusia 40–45 dengan identitas yang masih disembunyikan aparat.

Pria itu, diindikasikan karyawan perusahaan swasta, tidak sadarkan diri dengan banyak tanda kekerasan di sekujur tubuh serta dalam keadaan terikat.

Selain luka-luka di wajah dan badan, di dadanya terdapat luka sayatan pisau.

Dokter yang menangani memastikan sayatan itu tidak parah tetapi akan meninggalkan bekas. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian.

Sayatan itu bukan berbentuk acak. Ketika dilihat lebih jelas, luka sayatan pisau itu membentuk sebuah kata.

Perundung.

(bersambung)

--

--